NASKAH DRAMA SITTI NURBAYA ^^V
Perkenalan tokoh
1. Sitti Nurbaya : Murniati
2. Samsul Bahri : Putri Soeryaningrum
3. Datuk Maringgih : Irma Yusup
4. Bahtiar : Mega Sari
5. Arifin : Rayvida Nainggolan
6. Bibi alimah : Risma Lestari
Kira-kira pukul 1 siang, kelihatan dua orang anak muda, jika dipandang dari jauh tentulah akan disangka anak muda ini seorang anak Belanda, yang hendak pulang dari sekolah. Tetapi jika dipandak dari dekat nyatalah dia bukan anak Eropa yang umurnya kira-kira 18 tahun teman anak muda ini ialah seoarang anak perempuan yang umurnya kira-kira 15 tahun. Meraka adalah Samsul Bahri dan Sitti Nurbaya.
Samsul : “Apakah sebabnya Pak Ali hari ini terlambat datang? Lupakah ia menjemput kita?”
Nurbaya : “Iya, biasanya sebelum pukul 1 Ia telah ada disini. Sekarang cobalah lihat ! Jam dikantor telepon itu sudah hampir 1.30”
Samsul : “Jangan-jangan ia tertidur karena mengantuk, kalau benar demikian akan ku adukan kesalahanya kepada ayahku” (marah)
Nurbaya : “Ah.. Jangan Sam kasihanilah orang tua itu karena ia bukan 1 hari 2 hari bekerja pada ayahmu lebih baik kita berjalan kaki!”
Samsul : “Iya,. Tetapi aku lebih suka naik bendi daripada berjalan kaki!”
Nurbaya : “Benar hari panas tetapi tidak mengapa, aku ada membawa payung yang boleh kita pakai bersama-sama”
Kemudian merkapun berjalan kaki bersama-sama menuju ke rumah.
Sesampainya di rumah Samsul dan kedua temanya merencanakan untuk pergi ke gunung Padang, Nurbayapun tidak ingin tertinggal ketiga temannya tersebut.”
Keesokan harinya Nurbaya dan Samsu tiba dirumah Hopjaksa Sutan Pamuncak dimuka ini telah berdiri dua orang anak muda laki-laki yang umurnya sama dengan Samsu.
Bakhtiar : “Hai Nurbaya mengikut pula? Baiklah lebih banyak orang lebih girang.”
Nurbaya : “Mengapa Tiar? Tak boleh aku mengikut, sebab aku perempuan.”
(sambil tersenyum)
Bakhtiar : “Ah, masa tak boleh nona, aku berkata demikian bukan karena tak suka bahkan karena suka hatiku, melihat engkau bersama-sama.”
Arifin : “Bohong! Karena ia khawatir tak cukup akan mendapat kue-kue yang kita bawa.“ (menyela Arifin)
Nurbaya : “Baiklah kalau kau bersuka hati, engkau takkan takut memanjat pohon jambu keeling untuk aku.” (sahut Nurbaya)
Bakhtiar : “Boleh kau lihat sendiri nanti mana yang lebih pandai memanjat, aku atau kera.”
Arifin : “Kalau untuk makan si Tiar memang lebih pandai memanjat daripada kera.”
(usik Arifin)
Tertawalah mereaka semua sepanjang perjalanan, tak lama berjalan sampailah mereka digunung Padang. Setelah sampai mereka masih melanjutkan percakapan mereka begitu juga dengan Bakhtiar dan Arifin mereka masih bertengkar.
Arifin : “Sedikitkah atau banyakkah kau makan kue-kue itu?.” (tanya Arifin)
Bakhtiar : “Sepuas-puas hatiku sampai tak termakan lagi.” (jawab Bakhtiar)
Arifin : “Nah itulah dia oleh sebab terlalu kenyang, boleh jadi kamu dapat penyakit, bukankah tak baik itu.” (kata Arifin)
Samsu : “Ya benar.”
Bakhtiar : “Jemu katamu? Aku jemu pada kue-kue? Pada sangkaku jika habis sekalipun umurku, belum juga habis napsuku kepada kue-kue.”
Arifin : “Aku belum mengerti orang yang tak berumur lagi, masih bernapsu pada kue-kue.”
Nurbaya : “Bakhtiar, Bakhtiar, lebih baik engkau jadi tukang kue saja seperti nyonya Jansen.”
Bakhtiar : “Di dalam sepekan tentulah jatuh tokoku itu sebab habis kumakani.”
Merekapun kembali tertawa. Setelah itu mereka makan kue bersama-sama, selesai makan berkatalah Bakhtiar.
Bakhtiar : “Aku hendak pergi membendil burung.”
Karena khawatir melepaskan Bakhtiar sendiri, Samsu menyuruh Arifin pergi bersama Bakhtiar. Tinggalah Samsu dengan Nurbaya. Setelah keduanya berdiam sejurus, berkatalah Samsu tiba-tiba.
Samsu : “Nur, sejak kita sampai kemari belum kita pergi kemana-mana, tiadakah ingin hatimu pergi bermain-main?”
Nurbaya : “Tentu.”
Kemudian mereka bermain-main, dibuka kembalilah percakapan oleh Nurbaya.
Nurbaya : “Sam, lihat ada kapal api di laut, hendak pergi kemana kapal itu Sam?”
Samsu : “Tentulak ke Aceh dan Sabang, barangkali singgah juga ia di Sibolga.”
Nurbaya : “Kemudian kemana terusnya?”
Samsu : “Ke Jakarta”
Nurbaya : “Barangkali dengan kapal itu kau kelak pergi ke Jakarta.”
Mendengar perkataan ini berubahlah wajah muka Samsu dari riang menjadi muram dan termenunglah ia beberapa lamanya.
Nurbaya : “Mengapa kau tiba-tiba berdian Sam? Kurang enakkah badanmu?”
Samsu : “Bukan Nur, hanya sebab engkau tadi menyebut nama negeri tempat aku akan pergi 3 bulan lagi.”
Nurbaya : “Pada sangkaku, hatimu besar pergi ke Jakarta.”
Samsu : “Tentu Nur, karena disanalah aku akan melihat ibu negeri, tetapi berat sungguh hatiku meninggalkan kota Padang ini, orang tuaku, kaum keluargaku, serta handai taulanku.”
Nurbaya : “Tentu saja Sam, tidak mudah bercerai dengan itu semua tetapi kiraku itu tiada berapa lama.”
Tibalah malam diman keesokan harinya Samsu akan berangkat ke Jakarta terlihat banyak sekali orang-orang mengumpul dirumah Samsu, tak lama kemudian tibalah Nurbaya dari rumahnya dengan berpakaian yang indah membawa 2 ikat karangan bunga.
Nurbaya : “Belum selesai Sam?”
Samsu hanya terdiam.
Nurbaya : “Sakitkah engkau Sam?”
Samsu : “Manis benar kau ku pandang hari ini Nur, sehingga lupalah aku pada diriku.”
Nurbaya : “Dengan sengaja aku memakai pakaian ini sebab esok tiadalah engkau akan melihat aku lagi.”
Samsu : “Benar sekali katamu itu Nur.”
Setelah itu berakhirlah pesta pelepasan Samsu, mulai berpunglah tamu yang hadir. Lalu Samsu mengantar Nurbaya pulang ke rumahnya. Sampailah keduanya di pekarangan rumah Nurbaya, lalu duduklah mereka berdekat-dekatan. Samsu memulai pembicaraan.
Samsu : “Engkau tiada tahu rasa hatiku sekarang ini, pikiran yang ada didalam hatiku rupanya tak ada dalam hatimu.”
Nurbaya : “Pikiran apa pula itu?” (sambil melihat muka Samsu)
Samsu : “Nurbaya, karena besok aku akan meninggalkan kota Padang ini, ketahuilah olehmu bahwa aku sangat cinta kepadamu, sudah lama kusembunyikan dalam hatiku, karena pada sangkaku rahasia itu harus kau ketahui sebelum kita bercerai.” (kata Samsu sambil memegang tangan Nurbaya)
Nurbaya hanya menundukan kepalanya, tidak berkata sejurus lamanya.
Samsu : “Sudikah engkau kelak menjadi isteriku, apabila aku telah berpangkat dokter?”
Nurbaya : “Masa tak sudi” (sahut Nurbaya tersipu malu)
Maka diciumlah oleh Samsu perlahan-lahan tangan Nurbaya.
Samsu : “Nur, berjanjilah perasaanmu tak akan berubah kepadaku sampai kelak aku kembali!”
Nurbaya : “Aku berjanji kepadamu Sam! Tuhan saksiku tak ada laki-laki di alam ini yang kucintai selain engkau, engkaulah suamiku dunia akhirat.”
Samsu : “Akupun begitu, sekarang masuklah engkau kedalam rumahmu !”
Tatkala pintu rumah telah dibukakan Nurbaya berjabat salam yang akrab dengan Samsu dan Samsu pun pulang kembali kerumahnya.
Keesokan harinya sudah siaplah Samsu untuk berangkat ke Jakarta, terlihatlah Nurbaya dari kejauhan
Samsu : “Nurbaya!!!!
Nurbaya pun menghampiri Samsu dan langsung bersandar kepada Samsu.
Samsu : “Nurbaya. Ingat-ingat menjaga diri! Jika ada apa-apa lekas tulis surat kepadaku!”
Nurbaya : “Baik Sam, aku banyak minta terima kasih kepadamu Sam.”
Tatkala berbunyilah seruling kapal yang menandakan kapal segera berangkat. Kemudian dipegang erat-erat tangan Nurbaya berapa lamanya.
Samsu : “Selamat tinggal Nur!!”
Nurbaya : “Selamat tinggal Sam!!”
Tiga bulan setelah kepergian Samsu, Samsu mengirim surat kepada Nurbaya yang isinya menyatakan perasaan rindu Samsu kepada Nurbaya. Nurbaya sangat senang menerima surat dari Samsu tersebut. Ketika malam hari, saat Nurbaya terlarut dari tidurnya, terbangunlah ia dari tidurnya karena terdengar suara tabuh yang memberitahu ada rumah terbakar. Tatkala rumah tersebut adalah toko ayah Nurbaya, disinilah mulai penderitaan Nurbaya, setelah tokonya terbakar, ayahnya banyak mempunyai hutang sehingga mengharuskan ayahnya untuk meminjam uang kepada Datuk Maringgih namun Datuk Maringgih tak sebaik yang semula dipikiran ayahnya. Ketika telah jatu tempo utang tersebut, Datuk Maringgih tidak memberi ampun kepada ayah Nurbaya dan dimintalah Nurbaya untuk menjadi isterinya.
Ayah : “Aku tahu Nur, engkau tiada suka kepada Datuk Maringgih, pertama karena umurnya telah tua, kedua karena rupanya tak elok, ketiga karena tabiatnya keji tetapi jika tak sudi engkau niscaya aku dan sekalian kita yang masih ada ini akan jatuh kedalam tangannya.”
Mendengar perkataan ayahnya, air mata Nurbaya bercucuran.
Ayah : “Nurbaya, jika tak sudi engkau, sudahlah tak mengapa, tetapi bagaimanakah hal mu kelak bila tak ada lagi aku? Siapakah yang akan memeliharamu?”
Ketika itu pula berlinanglah air mata ayahnya.
Nurbaya : “Baiklah ayah, aku akan menikah dengan Datuk Maringgih.”
Menikahlah Nurbaya dengan Datuk Maringgih. Setelah membaca surat Nurbaya, Samsu pun pulang kembali ke Padang langsung mengunjungi rumah Nurbaya. Di dalam rumah itu terlihat lelaki tua yang sedang berbaring lemah. Tak lama kemudian datanglah seorang wanita yang wajahnya sudah tidak asing bagi Samsu, wanita itu adalah Nurbaya. Nurbaya dan Samsu mulai membuka pembicaraan di depan rumah Nurbaya.
Samsu : “Apa kabar kau Nur?”
Nurbaya : “Seperti yang kau lihat.”
Samsu : “Nur, aku siap menggantikan ayahmu apabila sewaktu-waktu terjadi sesuatu terhadap ayahmu karena aku mash sangat menyayangimu.”
Nurbaya : “Sungguh demikian Sam?” (sambil memegang tangan Samsu)
Samsu : “Apa sebabya hatiku akan berubah kepadamu? Tali yang mengikat aku dengan engaku telah tersimpul mati, tak dapat di ungkai lagi, dagingmu telah menjadi dagingku, darahmu telah menjadi darahku.”
Nurbaya : “Aku banyak berterima kasih kepadamu Samsu.”
Samsu : “Tentang hatiku jangan kau syak wasangka!”
Mendengar perkataan Samsu tersebut, diopeluklah Samsu oleh Nurbaya. Ketika mereka sedang berpelukan tiba-tiba terdengar dibelakang mereka suara Datuk Maringgih.
Datuk : “Itulah sebabnya maka keras benar hatimu akan pulang, dan tiada hendak berbalik kepadaku, bukannya hendak menjaga ayahmu kau malah bersenag-senang diri pada ayahmu.”
Samsu : “Tak perlu engkau berkata begitu, bercerminlah engkau pada badanmu sendiri, adakah engkau berlaku sopan dan tahu adat istiadat, engkaulah iblis itu.
Datuk : “Biadab!!!!” (sambil memukulkan tongkatnya ke arah Samsu)
Dengan cepat Samsu menghindar. Akibat kejadian itu ayah Nurbaya meninggal dunia. Datuk Maringgih berniat menceraikan Nurbaya. Karena kejadian itu pula, Samsu di usir oleh ayahnya dan Samsu pun kembali ke Jakarta. Nasib Nurbaya pun kini bergantung kepada bibinya yaitu Alimah. Malam hari dirumah Alimah.
Bibi : “Nur belum juga kau tidur? Hari telah jauh malam, lonceng telah berbunyi 2 kali.”
Nurbaya tiada menjawab, lalu Alimah mendekat kepada Nurbaya.
Bibi : “Pada sangkaku engkau telah tidur, karena engkau lekas masuk kedalam bilikmu, kalau aku tahu engkau masih bangun, tentulah aku akan datang menemanimu.”
Perkataan itupun belum dapat disahuti oleh Nurbaya.
Bibi : “Tutuplah jendela itu Nur!! Supaya engkau kelak jangan mendapat penyakit.”
Kemudian Nurbaya pun menangis sambil memegang foto Samsul Bahri.
Bibi : “Nur janganlah engaku turutkan benar hatimu yang sedih itu, sabarkanlah sedikit, tiadakah engkau kasihan terhadap dirimu itu?”
Nurbaya : “Lim, perkataanmu itu benar sekali, tetapi apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengakhiri hidupku seperti ayah dan ibu yang sangat kusayangi?”
Bibi : “Nur, adikku yang manis, itu bukan jalan penyelesaian yang tepat, sudahlah jangan dipanggil-panggil juga orang yang telah berpulang itu, tenangkanlah hatimu, dan doakanlah mereka!!
Nurbaya : “Lim, kebaikan mu ini tiada apat kubalas, aku sangat berterima kasih kepadamu.”
Bibi : “Nur jangan berkata begitu , Kau tak perlu berterimakasih kepadaku, aku melakukan ini karena aku sangat kasih dan saying kepadamu.”
Nurbaya : “Untunglah ada engkau, (sambil memeluk Alimah)
mengakhiri hidupku ini, tetapi bagaimanakah halnya kekasihku itu sepeninggal aku kelak?”
Bibi : “Nur, pikiranmu itu salah, mustahil masa engkau mengorbankan dirimu demi orang yang kau anggap isimewa itu, jika engkau bersangka demikian tentulah karena engkau sakit sehingga pikiranmu tiada tetap, kau harus memikirkan bahwa badan dan nyawamu bukan hanya milikmu sendiri, karena ada dua orang yang lain yaitu Samsu dan aku yang sangat kasih dan saying kepadamu.”
Nurbaya pun menangis sambil menundukan kepalanya, Alimah dengan segera mengangkat kepala Nurbaya sambil menghapus air matanya.
Bibi : “Bagaimana perkataan mu Nur? Dahulu engkau sendiri mengatakan ia sangat cinta kepadamu, lalu apa yang membuatmu khawatir akan perasaannya kepadamu?”
Nurbaya : “Memang laki-laki mulutnya manis tetapi hatinya jarang yang lurus.”
Bibi : “Nur, ingat akan dirimu! Jangan turutkan godaan setan! Engkau hanya sedang sakit keras cintanya kepadamu bukan bohong, karena sejak kecil ia kasih dan sayang kepadamu.”
Nurbaya : “Iya Lim, (sambil memegang dan mencium tangan Saudaranya) benar pikiranmu itu memang aku ini sedang sakit dan pikiranku tiada karuan. Maaf akan kesalahan adikmu ini, Lim.”
Bibi : “Nur, jalan akan mengobati luka hatimu itu, bukankah masih banyak kapal dilaut yang dapat mempertemukan engkau dengan dia.”
Nurbaya : “Sungguh benar katamu itu sebab ia tiada akan datang lagi kepadang ini karena negeri ini mungkin telah dihitamkannya”
Bibi : “Jika demikian, tentulah engkau yang harus pergi kepadanya, takutlah engkau berlayar sendiri ke Jakarta? Orang yang akan mengantarkan engkau kesana dapat dicari yaitu pak Ali”
Nurbaya : “Bukan takkut walau lautan api sekalipun aku berani asal dapat bertemu dengan dia, memang hal ini pun sudah juga aku pikirkan”
Setelah berfikir sejurus berkatalah Nurbaya
Nurbaya : “Ya, memang tak ada jalan lain. Baiklah kuturuti pikiranmu”
Lalu Nurbaya menjual barang-barangnya untuk pergi ke Jakarta menemui Samsul Bahri. Keesokan paginya Nurbaya dan Pak Ali pergi ke Jakarta dengan menaiki sebuah kapal laut tujuan Jakarta tanpa disadarinya mereka diintai oleh suruhan Datuk Maringgih yaitu pendekar tiga. Didalam kapal pendekar tiga mencoba membunuh Nurbaya dengan cara melemparkanya dari kapal ke laut, atas kejadian itu Nurbaya jatuh sakit. Setelah sesampainya di Jakarta Samsul Bahri telah menunggunya di pelabuhan Tanjung Priuk. Seorang opsir yang ditugaskan untuk menangkap Nurbaya atas tuduhan membawa pergi harta Datuk Maringgih menghampiri Nurbaya di ruang kesehatan. Karena Samsu belum tega mengatakan tuduhan tersebut kepada Nurbaya sehingga ia menyembunyikanya dahulu sampai Nurbaya membaik. Setelah membaik dan keluar dari rumah sakit merakapun berjalan-jalan mengelilingi kota Jakarta.
Samsu : “Nur, pulanglah engkau ke Padang!”
Nurbaya : “Apa katamu? Sekarang kita harus bercerai pula?” (kata Nurbaya sambil terkejut)
Datuk maringgih memfitnah aku dan kusir Ali melarikan barang-barang dan uangnya, kemudian ia meminta aku dan kusir Ali ditahan dan dikirimkan kembali ke Padang selekas-lekasnya, sesungguhnya Datuk Maringgih itu orang yang bengis sebelum aku mati belumlah puas hatinya, (marah) percayakah engkau akan dakwaannya itu?”
Samsu : “Masa aku percaya Nur? Tetapi apa hendak dikata, kita sekarang berlawanan dengan polisi, tiada hendak berbuat apa-apa.”
Nurbaya : “Ya baik, akan kucoba kembali ke Padang.”
Pada keesokan harinya berlayarlah Nurbaya ke Padang, setelah sampai ke Padang diperiksalah perkara itu dan nyatalah bahwa Nurbaya tiada bersalah apa-apa, Nurbaya pun kembali kerumah Alimah dan mendapat banyak nasihat dari ayah Alimah, yang biasa dipanggil Bapak oleh Nurbaya. Didalam bilik Alimah kelihatan Nurbaya sedang menjahit sebuah baju, sebentar-sebentar Nurbaya berhenti dan termenung seperti ada yang dipikirkannya.
Alimah : “Nur, datang pula penyakitmu itu?”
Nurbaya : “Bukan Lim, hanya aku masih ingat perkataan bapak tadi sebab pikirannya sangat terbenar dalam hatiku.”
Alimah : “Nur, jangan banyak menyusahkan pikiranmu dengan ingatan yang sedih-sedih! Bukankah engkau sudah berjanji kepadaku akan menetapkan pikiranmu supaya jangan tergoda lagi.”
Nurbaya : “Lim, cobalah kau pikr benar-benar! Nasib kita para perempuan dari Tuhan yang bersifat Rahman dan Rahim, kita telah dikurangkan daripada laki-laki teman kita itu, pada persangka mereka, mereka lebih tinggi daripada kita.”
Alimah : “Benar sekali katamu itu Nur.”
Nurbaya : “Lelaki seringkali berbuat seolah-olah mereka adalah Tuan, boleh jadi sebab angkuhnya mereka.”
Alimah : “Memang laki-laki acapkali berbuat begitu pada perempuan, jika dipikir dalam-dalam nyatalah kita perempuan ini diperbuat seperti anak tiri dan anak laki-laki sebagai anak kandung dan perempuan tiada pula diberikan tempat bergantung.”
Nurbaya : “Memang benar laki-laki diizinkan beristeri sampai 4, tetapi perempuan keluar rumah pun tak boleh.”
Alimah : “Ya seadil-adilnya tentulah perempuan boleh pula bersuami 2, 3, kalau laki-laki boleh beristeri banyak.”
Nurbaya : “Lelaki sering bertindak kasar jika kita salah sedikit.”
Alimah : “Sungguh pun demikian penanggungan itu belumlah seberapa jika dibandingkan dengan dimadu, aku lebih suka dipukul, dukurung, atau dihinakan.”
Nurbaya : “Tentu, itukah sebabnya kau bercerai dengan suamimu?”
Alimah : “Benar.”
Keesokan paginya Maringgih menyuruh Panglima 5 untuk mencampurkan racun kedalam lemang yang akan diberikan kepada Nurbaya.
Datuk : “Panglima 5.” (panggil Datuk)
Panglima : “Ada apa Datuk?”
Datuk : “Segeralah kau campurkan racun kedalam lemang ini ! setelah itu kirimlah kerumah Alimah atas nama Samsu!”
Panglima : “Baiklah Datuk”
Sampailah lemang itu dikirim kerumah Alimah tempat Nurbaya tinggal, dengan kebetulan Nurbaya yang menerima lemang tersebut, tsnps berpikir panjang dengan senang hati Nurbaya segera memakan lemang tersebut, karena yang ia tahu lemang tersebut dari Samsul Bahri.
Nurbaya : “Tubuhku terasa lemas dan pusing Lim!”
Alimah : “Memang benar Nur, mengapa wajahmu pucat? Biar ku pijit kepalamu, coba tidurkan tubuhmu, barangkali kau kurang tidur semalam.”
Nurbaya : “Tolong kau pijit sedikit kepalaku ini Lim, barangkali aku benar-benar masuk angin.”
Alimah pun memijit kepala Nurbaya.
Alimah : “Mengapa engkau terlihat lemas dan pucat setelah memakan lemang tersebut?”
Nurbaya : “Akupun tidak mengerti.”
Alimah terus memijit kepala adiknya tersebut, ketika ia berdiri hendak pergi pula diperhatikannya muka adiknya itu, sangatlah ia terperanjat melihat Nurbaya sebagai tiada bernapas lagi, lalu diguncangkannya badan Nurbaya supaya bangun, tetapi sesungguhnya perempuan yang malang itu telah tak ada lagi, maka menjeritlah Alimah.
Beberapa hari setelah meninggalnya Nurbaya, Alimah mengirimkan kabar kepada Samsu melalui telegram, tak lama dari itu Samsu menerima telegram tersebut, sejurus Samsu terdiam tanpa Kata.
Samsu : “Mengapa kau meninggalkan aku seorang Nur? Tak kasih kah kau terhadap diriku?”
Tak lama kemudian sahabatnya yang bernama Arifin terlihat dari kejauhan, pandangan Arifin tertuju pada sosok laki-laki yang sedang mengacungkan sebuah pistol pada kepalanya. Lelaki itu tak lain adalah Samsu sahabatnya, dengan tiada berpikir lagi lalu menjeritlah ia.
Arifin : “Samsu, ingat akan dirimu !” (sambil berlali menghampiri Samsu)
Tetapi usaha Arifin itu terlambat, karena Samsu sudah menembakkan pistol itu kepalanya. Arifin pun berteriak meminta tolong, beberapa saat kemudian mulai ramailah tempat tersebut. Setelah itu tersiarlah sebuah berita di surat kabar, seorang anak muda Padang murid Sekolah Dokter Jawa telah menembak diri. Sampailah berita tersebut pada Sultan Mahmud, tak tahan dengan penderitaan tersebut, Sultan Mahmud pun sakit hingga meninggal dunia menyusul isteri, dan anaknya.
Pemakaman mereka pun sengaja ditempatkan saling berdekatan antara ayah Nurbaya, Nurbaya, Ibu Samsu, Samsulbahri, dan Sultan Mahmud.
10 tahun kemudian di pemakaman itu tampaklah 2 orang pemuda, yang tak lain adalah Bakhtiar dan Arifin.
Arifin : “Bakhtiar, adakah kau sangka tatkala kira-kira 11 tahun yang lalu berjalan dengan Samsu dan Nurbaya kemari, kita pada waktu ini akan melawat kuburnya disini, masihkah engkau mengingat saat itu 3 bulan sebelum kita ke Jakarta?”
Bakhtiar : “Sesungguhnya Arifin, tidak ku sangka sekali-kali tetapi apa hendak dikata, karena manusia itu tiada dapat berbuat sekehendak hatinya, melainkan harus menepati janji yang telah diperbuat. Meskipun demikian kelima mereka ini telah nyata dan tetap tempatnya, berdekat-dekatan tempatnya.”
Arifin : “Tetapi apakah sebabnya Engku Sultan Mahmud meninggal dengan tiba-tiba, apakah sakit?”
Bakhtiar : “Rindu akan anak isterinya.”
Arifin : “Sungguh kasihan!”
Mereka langsung mengaji dengan beberapa fakir, setelah itu kembalilah mereka pulang, hanya yang telah terkubur itulah yang tinggal disana untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar